Penguasaan keterampilan dan pengetahuan global penting dimiliki generasi muda terlebih di era globalisasi. Oleh sebab itu, pembangunan sumber daya manusia Indonesia perlu dilakukan agar dapat bersaing di Era Modern, salah satunya melalui pendidikan vokasi. Generasi muda saat ini harus dapat bersaing dan terus mengembangkan diri agar tidak kalah bersaing di era global. Selain itu, juga dituntut dapat menguasai perkembangan teknologi dan memiliki nilai jual lebih dari orang lain serta menjaga nasionalisme dan etika. Era digital menawarkan pendekatan berbeda dalam belajar dan bekerja.
A.S. Hikam menyebutkan bahwa Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2020-2030 mendatang. Saat itu, angkatan kerja di Indonesia akan mencapai angka 70 persen. Bonus demografi ini harus dipersiapkan secara matang agar bisa memberikan keuntungan bagi bangsa dengan menyiapkan sumber daya manusia dan lapangan kerja yang berkualitas. Apabila tidak ditangani dengan baik, bonus demografi ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi bangsa.
Dunia pendidikan sudah seharusnya dapat menangkap sinyal bahwa kepala sekolah dan guru membutuhkan learning capacity untuk beradaptasi dengan era digital yang sangat potensial terkhusus di daerah 3T. Daerah 3T, bukanlah daerah yang selalu miskin. Dengan pengelolaan sumber daya yang baik, daerah 3T dapat menjadi muara ekonomi kawasan.
Selalu ada ancaman di setiap perubahan. Namun, perlu dilihat potensi perubahan tersebut bagi masyarakat. Era digital, salah satunya lebih dulu mewabah ke insan muda. Mereka sudah cukup adaptif, begitu mudah mereka mengetikkan jemarinya ke smartphone atau tombol laptop. Adanya ojek dan taksi online membuktikan bahwa tiap perubahan selalu berisiko. Salah satunya, supir angkot dan ojek pangkalan yang tergusur dan tergerus dengan eksistensi layanan online.
Perubahan sosial dan budaya harus dapat dipahami sebagai sebuah konsekuensi dari penemuan baru. Sebelum menjadi tren, tentu kita harus lebih dulu tahu apa yang harus disiapkan ketika perubahan tersebut terjadi. Yang biasa terjadi di Indonesia, setiap ada masalah, baru menelurkan kebijakan baru. Inilah yang membuat kita terus terlambat dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Tidak ada yang lebih sesat, selain menunggu dalam konteks yang keliru. Menunggu zaman berubah tanpa kesiapan adalah sebuah kesalahan. Dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia, tentu bukan hal mudah mengelola usia angkatan kerja dengan usia 15-64 tahun yang mencapai 70 persen dari total penduduk.
Kepala sekolah dan guru harus jemput bola. Jangan menunggu pemerintah dan pemda mengeluarkan bantuan. Budaya kerja dapat dimulai sedini mungkin. Menjalin kemitraan tidak membutuhkan biaya signifikan. Kemitraan dengan industri bukan semata untuk menitipkan siswa bekerja di dunia nyata. Namun, lebih dari itu—meng-upgrade mutu guru serta memperbarui apakah keilmuannya dapat bersinergi dengan industri yang lebih dinamis perkembangannya.
Ketiadaan guru produktif dapat disiasati dengan mempertemukan sekolah dengan universitas/politeknik/industri. Jasa lulusan atau praktisi di universitas/politeknik/industri dapat diundang untuk hadir sebagai narasumber tamu, menjelaskan peralatan/teknologi yang digunakan dalam industri. Apakah yang digunakan di sekolah (bantuan dari pemerintah/pemda) cukup signifikan dan masih update digunakan untuk 5-10 tahun mendatang?
Guru adaptif dengan keahlian ganda dan menjadi guru produktif memang dibutuhkan. Namun, mencetak kekurangan 91.861 guru produktif (data Kemdikbud, 2016) dengan menunggu mereka ada dan terlibat, jelas akan sangat menyia-nyiakan waktu siswa untuk menekuni bidang keahlian tertentu. Kreativitas kepala sekolah berinisiasi dengan melibatkan pemda/dinas pendidikan/dinas lainnya untuk mengakomodir tuntutan pasar menjadikan kerja kepala sekolah bukan hanya bertahan menunggu perubahan terjadi, tapi menjemput bola bermitra dengan DUDI (dunia usaha dan dunia industri), akademisi, dan lulusan universitas/politeknik.