Revolusi industri 4.0 merupakan hasil dari perkembangan era globalisasi yang ditandai dengan fenomena disruptive innovation. Melalui pendidikan kejuruan-vokasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna menghadapi tantangan tersebut. Dalam pendidikan kejuruan-vokasi tentu dibutuhkan tenaga pendidik yang berkompetensi serta perubahan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran agar peserta didik dapat mempersiapkan diri menghadapi revolusi industri yang kini masih dalam tahap awal perkembangannya. Pergeseran era industri ini tentunya memberikan peluang lapangan pekerjaan bagi para millenial yang saat ini masih menempuh pendidikan formal, karena dalam pelaksanaannya siswa dituntut untuk kreatif dan inovatif terutama dalam bidang iptek. Melalui pendidikan kejuruan-vokasi yang berorientasi pada proses dan produk, diharapkan dapat mengatasi masalah pengangguran di Indonesia yang semakin meningkat dari tahun-ketahun.
Publik percaya, bahwa semakin tingggi jenjang pendidikan yang dilalui, akan semakin baik pula taraf kehidupannya nanti. Secara kuantitas, di Indonesia terdapat lebih dari 4 ribu perguruan tinggi. Tapi bila dilihat dari kapasitas, daya tampung perguruan tinggi di Indonesia hanya sekitar 1,8 juta mahasiswa baru. Setengah dari jumlah tersebut berasal dari lulusan pendidikan menengah atas (SMA) dibandingkan SMK yang dari awal notabennya disediakan untuk siap bekerja. Pendidikan vokasi adalah salah satu pendidikan yang menjanjikan dalam dunia pekerjaan, dan sangat mendukung Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) awalnya terpandang dengan sekolah yang sering menciptakan keributan antar sekolah lainnya. Namun sekarang berbeda, SMK yang sudah menjadi salah satu kesetaraan pendidikan vokasi sangat dibutuhkan oleh dunia industri di mana rata-rata pekerja industri diisi oleh lulusan SMK sehingga taraf kesejahteraan dalam mencari SDM yang siap terjun ke lapangan pekerjaan. Berbeda dengan sekolah akademik yang lebih banyak mengutamakan teori dibandingkan praktik dilapangan, sehingga sedikit sekali dapat membaca peluang pekerjaan yang ada. Lulusan akademik juga terkadang masih kebingungan ketika sudah lepas dari masa studi atau kelulusannya karena minim praktik dilapangan atau praktik disekolah. Perbandingan mental bagi orang yang berpendidikan vokasi akan lebih matang ketika bertemu dengan karakter pekerja dilapangan sehingga dapat menangani dengan sikap yang tepat.
Selain itu tekanan revolusi industri 4.0 yang mendominasi pada kemampuan teknologi dibandingkan manusia membuat orang berpikir kembali untuk mengubah sistem pengerjaan industri. Tantangan dari 4.0 adalah pekerja-pekerja tidak lagi dibutuhkan secara full time melainkan hanya bagian tertentu saja. Semenjak berlaku datangnya era pasar MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) memperluas pasar bagi produk dan jasa Indonesia, juga membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja terampil Indonesia. Namun jika tidak siap mengantisipasi, peluang yang ada berubah menjadi kerugian. Berbagai dampak negatif akan dirasakan, seperti masuknya tenaga kerja terampil luar negeri yang bersaing dengan tenaga kerja lokal, serta migrasi tenaga kerja terampil berkualitas dari Indonesia ke luar negeri. Kondisi ini amat memprihatinkan, apalagi jika Indonesia khususnya Jawa Timur belum mempersiapkan tenaga kerja dengan skill dan kompetensi yang memadai untuk mampu bersaing dengan pekerja dari daerah lain maupun negara lain.
Pendidikan vokasi baik tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun tingkat perguruan tinggi sangat diperlukan dalam meningkatkan kualitas SDM. Selain itu perusahaan industri mengandalkan pendidikan vokasi sebagai andalan bagi perekrutan karyawan terbaik. Sumber daya manusia akan semakin berkualitas ketika masing-masing dapat memiliki pekerjaan dan menciptakan pekerjaannya masing-masing. Pengangguran juga akan diminimalisir dengan program pendidikan vokasi, dengan kesiapannya dalam bidang spesialis akan memudahkan perekrut untuk mencari kualitas karyawan yang berkompeten.