Sejarah mengenai pendidikan vokasi adalah berbicara mengenai skill SDM Indonesia untuk memasuki dunia kerja. Sejarah ini menegaskan bahwa pendidikan vokasi di Indonesia masih dianggap pendidikan nomor dua, dengan lulusan kompetensi yang sangat terbatas, dan tingkat penerimaan di dunia kerja masih terbatas. Padahal, dahulu pendidikan vokasi ini sangat membanggakan dengan tingkat kompetensi lulusan yang sangat tinggi dan daya serap ke dunia kerja sangat baik. (Ferry Doringin, S.Fil., M.Hum., Ph.D.)
Pada masa Jepang menjajah Indonesia, fokus pada Pendidikan Vokasi menjadi berubah, yakni pada ketrampilan perempuan, sekolah teknik, dan pertanian. Bahasa Pengantar pendidikan harus Bahasa Jepang. Sistem pendidikan yang sudah terbangun diganti. Sehingga mencatat bahwa Pendidikan Vokasi menjadi kolaps. Refleksi yang baik pada zaman ini adalah tanpa sistem yang baik serta pengajar yang mumpuni, proses pendidikan menjadi lemah.
Pada Zaman Kemerdekaan sampai dengan Reformasi, masalah Pendidikan Vokasi yang berlangsung pada zaman Pendudukan Jepang masih belum bisa diatasi. Pendidikan vokasi terlanjur menjadi pendidikan yang kurang diperhatikan, dengan kualitas guru dan fasilitas yang tidak memadai, dan sistem yang tidak berjalan baik. Sesudah reformasi konsep pendidikan di Indonesia dirubah oleh pemerintah dengan menargetkan bahwa secara jumlah lembaga pendidikan vokasi harus mencapai 70%: 30% dari pendidikan umum. Angka ini merupakan pembalikan angka sebelumnya, yakni Pendidikan Vokasi hanya mencapai 30%:70% pendidikan umum. Menurut Suharno, pembalikan itu merupakan penerapan dari Finlay theory yang menyatakan bahwa kota dimana populasi siswa pendidikan vokasi lebih besar maka perkembangan ekonomi dan produk domestik regional akan besar. Lebih dari itu, fakta menyebutkan bahwa lulusan Sekolah Umum yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan ingin langsung memasuki dunia kerja cukup tinggi. Dalam rancangan pendidikan yang baru tersebut, pemerintah menetapkan target prosentasi pada tahun 2009 mencapai 60% umum: 40% vokasi; tahun 2015, angkanya menjadi 50:50; tahun 2020, angkanya menjadi 40% umum: 10% vokasi; dan target tahun 2025 adalah 30%:70%. Target lembaga Pendidikan Vokasi mencapai 70% terjadi pada tahun 2025.
Meskipun demikian, Scwab (2016) dalam Suharno (2020) menyebutkan bahwa tingkat kompetisi lulusan vokasi Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN hanya 35% dan secara global hanya 10%. Dengan demikian, pekerjaan rumah untuk pengembangan vokasi masih besar. Maka pendidikan vokasi harus banyak yang perlu dibenahi yaitu;
1. Pengembangan Pendidikan Vokasi yang tidak terkontrol: tanpa studi mendalam mengenai pendirian dan pemilihan jurusan. Menurut Suharto, bahwa jurusan otomotif sangat banyak dibuka dan akhirnya kelebihan lulusan dan tidak terserap di dunia kerja. Padahal kebutuhan untuk sektor maritim, energi terbarukan, turisme, dan industri kreatif tidak terisi untuk menggambarkan bahwa jurusan itu kurang tersedia.
2. Ketersediaan guru dalam jumlah dan kompetensi. Guru yang pensiun tidak digantikan. Guru yang kompeten tidak tersedia.
3. Sejumlah program tertentu tidak tersedia di Pendidikan Tinggi yang berakibat pada tersedianya pengajar untuk bidang itu. Kompetensi yang tidak tersedia pada PT, antara lain: pengelas, teknologi terbarukan, penangkap ikan.
4. Fasilitas dan infrastruktur tidak cukup.
5. Pembelajaran: kurikulum tidak demand-driven. Industri berubah dan berkembang cepat namun kurikulum dan pembelajaran tidak bisa mengikuti perubahan itu.
6. Biaya tinggi namun hasil belum sesuai harapan.
7. Manajemen terbatas (Kepala Sekolah tidak mumpuni dari segi visi dan perencanaan).
8. Keterlibatan industri sangat terbatas.